Vine Reboot: Kenapa diVine Bisa Jadi Kompetitor TikTok

layanan digital agency untuk bisnis Anda

Pernah gak kamu merasa timeline sekarang makin penuh konten AI yang rasanya kosong?
Visualnya keren, transisinya halus, tapi gak ada jiwa manusianya.

Masalahnya bukan di kualitas videonya.
Masalahnya: kita makin jarang lihat manusia beneran di social feed. Karena algoritma mengijinkan itu

Dan di tengah saturasi konten AI ini, tiba-tiba muncul kabar: Vine reboot, namanya diVine, dibiayai langsung Jack Dorsey. Ini bukan sekadar nostalgia.
Ini statement: platform yang isinya manusia asli dan bakal masih punya tempat di pasar.

Hari ini gue mau bedah dari perspektif strategist + agency owner — apakah Vine bisa jadi kompetitor baru TikTok, atau cuma nostalgia fans lama? Dan lebih penting: apa implikasinya untuk brand, kreator, dan pasar Asia (termasuk Indonesia)?


Apa Sebenarnya yang Terjadi dengan Vine Reboot?

Vine reboot lewat aplikasi baru bernama diVine membawa 150.000+ video lama dari arsip Vine, lengkap dengan metadata: views, comments, engagement.
Jack Dorsey ngebiayain proyek ini lewat foundation “and Other Stuff”.

Highlight teknologinya:

  • Tidak menerima konten AI → video diverifikasi “human-recorded” lewat teknologi Guardian Project.
  • Dibangun di atas Nostr, protokol desentralisasi.
  • Open source → siapa pun bisa bikin client, host, atau server sendiri.
  • Creators masih punya copyright atas Vine asli mereka.

Ini menarik karena tren global menunjukkan hal yang kontras:

  1. 66% konten video baru di social apps 2025 sudah AI-generated (estimasi internal Adobe + Meta).
  2. Engagement rate konten manusia turun 23%, bukan karena kalah kualitas, tapi kalah volume.
  3. 10 dari 10 top apps 2025 punya fitur AI content generation di depan: TikTok, Meta, Snapchat, YouTube, CapCut, bahkan WhatsApp.

Di Indonesia, fenomenanya makin jelas — gue lihat sendiri dari klien Uraga:

  • Konten AI makin murah diproduksi, tapi makin banyak brand kehilangan distinctiveness.
  • Audience mulai jenuh → waktu tonton naik, tapi trust turun.

Jadi muncul pertanyaan strategis:

Apakah “human-only content” bisa jadi kategori baru?


Framework Analisis: Kenapa Vine Reboot Punya Peluang Nyata

Gue breakdown jadi 4 faktor strategis.

1. Timing: Pasar Lagi Lapar Konten Manusia

Orang engage dengan konten AI karena novelty.
Tapi manusia crave authenticity.
Ini bukan teori, TikTok sendiri udah confirm bahwa konten low-fi, unpolished, human-first makin naik.

Dengan demikian, diVine datang di timing yang tepat: anti-thesis dari AI-flooded feeds.

2. Difrensiasi Produk: Bukan Sekadar “Fitur Anti-AI”

Banyak orang pikir TikTok bisa gampang meniru:

  • Larang AI upload → bisa
  • Buat feed khusus manusia → bisa
  • Buat loop 6 detik → bisa

Tapi mereka tidak akan melakukan itu secara agresif, karena:

  • TikTok punya insentif mendorong produksi AI massal (lebih murah, scalable, repeatable).
  • Mereka mengoptimalkan waktu tonton, bukan “kualitas interaksi manusia”.
  • Business model TikTok = volume content → volume ads → volume conversion → GMV.

diVine justru memilih model sebaliknya:

  • Low-volume
  • High-authenticity
  • Human-curated
  • Archive-powered

Ini bukan fitur.
Ini positioning baru.

3. Infrastruktur Desentralisasi = Value Baru

Nostr membuat diVine:

  • Tidak bisa “dimatikan” sepihak pemilik platform
  • Tidak tersandera ads-based business model
  • Lebih mirip ekosistem “RSS era baru” ketimbang social media tradisional

Ini relevan buat global creators yang muak dengan:

  • feed yang berubah terus
  • algorithm trapping
  • “pay-to-grow” model platform

4. Cultural Momentum: Nostalgia Vine + Kejenuhan Era AI

Dua gelombang ini ketemu di titik yang bersamaan:

  • generasi 2013–2016 kangen Vine
  • Gen Z 2025 mulai muak dengan AI content flood
  • brand mulai cari cara build trust kembali

Itu menciptakan ruang kosong: platform yang kontennya pure manusia.


Apa yang Bisa Brand & Kreator Lakukan dari Tren Vine Reboot

1. Evaluasi konten kamu

Apakah feed kamu terlalu “AI-polished”?
Apakah “jiwa manusianya” hilang?

2. Uji 5–10 konten ultra-human

Coba:

  • video tanpa edit
  • candid moment
  • suara asli
  • real POV pekerja atau owner

Tanyakan:
“Kalau gue sebagai viewer, apakah gue percaya ini?”

3. Dokumentasikan proses, bukan hasil

AI jago bikin hasil akhir → tapi journey manusia unbeatable.

4. Siapkan pipeline konten low-fi

Brand butuh dual-engine:

  • high-production
  • low-production (human signals)

Ini relevan untuk brand Indonesia di Shopee, TikTok Shop, Meta Ads.

5. Mulai invest di platform alternatif

Walaupun Vine reboot belum tentu besar di Indonesia, pattern-nya jelas:

Era social baru akan menonjolkan authenticity, bukan produksi massal.


Kesimpulan: Vine Reboot Bukan Tentang Nostalgia, Ini tentang Future of Human Internet

Singkatnya, Vine reboot lewat diVine bukan cuma soal aplikasi lama yang hidup lagi.
Ini adalah reaksi alamiah terhadap pasar yang jenuh dengan konten AI tanpa emosi.

Brands, creators, dan agency harus sadar:

  • Masa depan bukan “semua diganti AI”.
  • Masa depan adalah “AI membantu produksi, tapi manusia tetap jadi pusat”.

Kalau kamu ingin baca lebih dalam soal bagaimana industri digital shifting ke human-first era, kamu bisa cek artikel ini:
👉 AI Content, No More: Why YouTube’s Big Move Signals a Human-First Future
https://dirgaisman.substack.com/publish/posts/detail/167959401

Dan kalau ingin lihat bagaimana brand positioning berkembang di 2025:
👉 Brand Positioning Killer: Strategi Menang Tanpa Inovasi Radikal
https://brandformance.id/2025/02/27/strategi-branding-distinctive-assets-memenangkan-persaingan/


Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *