Ketika Duo Ketemu Toped: Pelajaran Besar dari Kolaborasi

Duo dan Toped berdiri berdampingan di billboard Jakarta pusat dengan slogan kolaborasi resmi Duolingo x Tokopedia.

Dari Meme ke Momentum Bisnis

Pernah gak kamu lihat dua brand saling disindir netizen karena mirip, tapi malah mereka ambil kesempatan buat kolaborasi? Itulah yang baru aja dilakukan Duolingo dan Tokopedia dan jujur, ini masterclass tentang bagaimana brand harus beradaptasi di era budaya digital yang serba cepat.

Dulu, netizen cuma bercanda soal Duo (burung hijau Duolingo) dan Toped (maskot Tokopedia). Tapi tahun 2025, mereka bikin langkah nyata: kolaborasi lintas industri yang bukan cuma lucu, tapi strategis banget.

Dan di sinilah pelajarannya, mereka gak defensif soal meme, mereka justru mengkapitalisasi atensi publik jadi brand equity baru.

Fenomena “Meme Capitalism”: Saat Internet Culture Jadi Valuta Baru

Kalau 10 tahun lalu brand takut disindir, sekarang yang gak bisa ikut main di budaya digital justru kalah cepat.
Menurut data NielsenIQ (2025), 74% Gen Z di Asia lebih engage pada brand yang “paham konteks budaya internet” dibanding brand yang hanya jual produk.
Dengan lebih dari 11 juta followers di TikTok, Tokopedia jelas ngerti hal itu.
Sementara Duolingo? Udah jadi legenda global karena social-first branding yang nyeleneh tapi cerdas.

Kolaborasi ini lahir dari cultural listening, bukan brainstorm di ruang rapat dan tetekbengeknya. Mereka gak “menciptakan” cerita, tapi menjawab percakapan yang udah hidup di kepala publik.
Itu yang bikin hasilnya organik, bukan dipaksakan.

Breakdown Strategi Kolaborasi Duolingo x Tokopedia

  1. Identity Swap (Tukar Akun Sosial)
    Duo takeover akun Tokopedia, Toped takeover akun Duolingo. Simpel, tapi jenius. Ini trigger utama yang memancing engagement tanpa biaya besar.
    → Efek: 10 juta+ views organik hanya dari TikTok cross-posting.
  2. Offline Billboards: Konfirmasi di Dunia Nyata
    Setelah viral online, mereka lanjutkan dengan billboard bersebelahan di Jakarta.
    Ini bukan sekadar “outdoor ad”, tapi proof of realness — jembatan antara viral moment dan physical presence.
  3. K-Pop Dance Battle di GBK
    Koneksi dengan fandom culture jadi langkah taktis.
    Di era di mana K-Pop = bahasa global Gen Z, ini memperkuat positioning “brand yang fun tapi aware akan tren Asia”.
  4. Monetisasi: Duolingo Store di Tokopedia (11.11)
    Nah, di sinilah konversinya. Duolingo buka merchandise store pertamanya di Asia Tenggara lewat Tokopedia.
    Bukan cuma jual barang, tapi jualan makna — akses langsung ke karakter yang sudah dicintai jutaan pengguna Indonesia.

Studi Kasus: Dari Sindiran Jadi Simbiosis

Dulu orang mikir Toped nyontek Duo.
Sekarang? Mereka duduk bareng, bikin collab, dan sama-sama panen awareness.

Ini bukan sekadar “brand moment.” Ini strategi komunikasi dua arah, di mana brand gak defensif, tapi responsif terhadap budaya digital.

Di Uraga, kami sering tekankan ke klien bahwa relevansi budaya lebih mahal dari CPM.
Banyak brand gagal karena sibuk kejar ROAS, lupa bahwa cultural relevance adalah bahan bakar loyalitas jangka panjang.

Kalau Tokopedia dan Duolingo aja bisa bridging edtech dan e-commerce, berarti kolaborasi lintas industri di Indonesia punya potensi jauh lebih besar dari sekadar traffic boost.

Pelajaran Praktis Buat Brand Lokal

  1. Jangan Takut Jadi Bahan Meme
    Setiap candaan publik adalah peluang narasi. Kalau publik udah bahas kamu, itu berarti brand awareness-mu gratis.
    Pertanyaannya: kamu mau rebut kendali percakapan itu atau diam aja?
  2. Kolaborasi Bukan Cuma Barter Logo
    Cari irisan makna, bukan sekadar demografi. Duo dan Toped sama-sama “iconic green mascot” yang playful — bukan kebetulan, tapi positioning strategis.
  3. Mulai dari Budaya, Baru Produk
    Produk bisa diganti, budaya enggak. Kalau brand kamu mau bertahan 5 tahun ke depan, mulai belajar cultural listening, bukan cuma keyword research.
  4. Gunakan Humor sebagai Pelumas Engagement
    Humor = gateway to trust. Tapi ingat, humor tanpa empati = bumerang.
    → Tes dulu: “Apakah orang bakal ngerasa diajak ketawa bareng, bukan ditertawakan?”
  5. Monetisasi dari Narasi, Bukan Sekadar Transaksi
    Duolingo jual merch, tapi yang mereka jual sebenernya sense of belonging.
    Sama seperti Uraga bantu brand lokal membangun funnel bukan dari iklan, tapi dari cerita yang nyantol di kepala audiens.

Singkatnya, kolaborasi Duolingo dan Tokopedia bukan cuma soal dua maskot hijau yang akhirnya “berdamai.” Ini tentang bagaimana meme culture bisa berubah jadi marketing strategy — kalau brand cukup cerdas untuk mendengarkan publiknya.

Dengan memahami konteks budaya, bukan sekadar tren digital, brand bisa menciptakan koneksi yang relevan dan tahan lama.


Kalau kamu mau lihat gimana tim Uraga mengubah brand noise jadi brand narrative, baca juga Kekuatan UGC: Bagaimana Virtual Immersive Park Memanfaatkan Konten Kreator untuk Kesuksesan Viral.


Internal Links (Brandformance.id):

External Links (Substack):

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *